Banda The Dark
Forgetten Trail merupakan film dokumenter pertama yang aku tonton pertama di
Bioskop. Aku rasa film ini patut diapresiasi dengan keberabnian membuka sejarah
yang ditutupi. Dimana sebulem zaman kolonialisme VOC, Pulau Banda sendiri sudah
menjadi rebutan untuk pedagang Cina maupun pedagang Arab dengan hasil rempah
nya berupa Pala. Dengan Reza Rahardian membacakan narasi “Para pedagang China
menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para pedagang Arab
menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong kepala. Para
pedagang China menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para
pedagang Arab menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong
kepala.”
Di abad lima dan enam
sendiri rempah-rempah sudah menjadi rebutan di tanah Eropa, hingga Voltaire menulis “Setelah tahun 1500 tak ada lagi rempah tanpa pertumpahan darah”
Hingga akhirnya
bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spayol, Inggris dan Belanda) melakukan
ekspedisi, menelusuri jalur sutra untuk
mencari rempah-rempah. Dan sampailah mereka di Pulau Banda berebut. Jauh
sebelum Bangsa Eropa datang ke Pulau Banda sudah ada ramalan mengenai legenda
“Banda akan dikuasai orang-orang bermata kucing dan berambut jagung”. Sampailah
pada dinamika persaingan antar negara Eropa yang berujung monopoli perdagangan
buah pala di Pulau Banda, aksi kekerasan, dan genosida terhadap masyarakat asli
Banda. Dari situ, sejenak terlihat pula gambaran praktik imperialisme
negara-negara adidaya kala itu. Melalui Perjanjian Tordesilas inilah
bangsa-bangsa Eropa membagi peta tanah jajahan, dengan semboyan yang terkenal
dengan “gospel, gold, dan glory”
Perlakuan bangsa-bangsa
Eropa yang ingin memonopoli hasil perkebunan pala, tidak di sukai oleh
masyarakat Banda. Masyarakat Banda sendiri menganut sistem perdangan bebas,
yang bebas di jual ke pedagang China dan Arab. Hingga terjadi perundingan
antara masyarakat Banda dengan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana
Verhoeven, perundingan ini berjalan buntu sehingga berakhir dengan terbunuhnya
Laksamana Verhoeven dan empat puluh serdadu VOC yang diserang warga Banda Naira
di sebuah hutan kecil di kawasan yang saat ini dikenal dengan kampong
“verhopen”. Yang tersisa hanya JAN PIETERSZOON COEN, yang menjadi saksi
terbenuhnya pasukan VOC hingga dia menyimpan dendam ke warga Banda.
Pada usia tiga puluh
satu tahun JAN PIETERSZOON COEN menjadi
Gubernur Jendral VOC. Hingga Coen memindahkan pusat pemerintahan VOC ke
Jayakarta, yang di beri nama oleh Coen sebagai kota “Batavieren” (Batavia).
Tepat pada 27 Februari 1621 armada perang Coen tiba di Benteng Nassau, Banda
Naira. Ia berhasil menghimpun pasukan militernya terdiri dari 13 kapal besar, 3
kapal kecil, 6 perahu layar, dengan pasukan tentara sebanyak 1.665 orang eropa,
ditambah 250 tentara yang telah menetap di Banda, 100 orang tentara bayaran
dari pasukan ronin-samurai, dan 286 tawanan asal Jawa sebagai buruh kapal.
Coen sendiri berniat
membelas dendam ke warga Banda sekaligus menaklukan Pulau Banda. Pada serangan
pertama Coen gagal total, namun pada serangan kedua pada 11 Maret 1621. Kali
ini dia lebih strategis, menerjunkan tentaranya pada 6 titik sekaligus untuk
mengelabui rakyat Banda. Dalam waktu singkat, pasukannya telah menduduki
pos-pos penting di sebelah utara dekat Ortatang dan sebelah selatan dekat
Lakoy. Coen sendiri melakukan penaklukan dengan kejahatan Genosida membunuh
warga banda. Pengejaran terhadap penduduk Banda dilakukan secara sporadic dan
kejam. Warga yang ditemukan dan melawan langsung dibunuh ditempat. Sebagian
ditembak, ada juga yang dipukuli dengan senjata sampai hancur kepala. Begitu
sadisnya, banyak orang memilih membuang dirinya di tebing-tebing tinggi
daripada mati ditangan VOC. Sebagian yang berhasil ditangkap lalu dipaksa
mengaku terlibat dalam konspirasi di atas kursi penyiksaan yang mampu membuat
tulang-tulang kaki, tangan remuk patah dengan sekali putaran tuasnya. Sebagian
penduduk lain dibuang ke Batavia dan dijadikan budak. Pulau banda sendiri di isi oleh budak-budak
dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan NTT. Sejak saat itu orang-orang Banda adalah hasil
kawin campur dari berabagai macam suku Nusantara dan bahkan bangsa lain,
sehingga di simpulkan dalam film ini hanya tersisa sedikit warga asli Banda.
“JAN PIETERSZOON COEN menulis sejerahnya dengan darah
orang-orang banda"