Kamis, 24 Agustus 2017

Melihat INDONESIA Dari Pulau Banda (1)




Banda The Dark Forgetten Trail merupakan film dokumenter pertama yang aku tonton pertama di Bioskop. Aku rasa film ini patut diapresiasi dengan keberabnian membuka sejarah yang ditutupi. Dimana sebulem zaman kolonialisme VOC, Pulau Banda sendiri sudah menjadi rebutan untuk pedagang Cina maupun pedagang Arab dengan hasil rempah nya berupa Pala. Dengan Reza Rahardian membacakan narasi “Para pedagang China menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para pedagang Arab menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong kepala. Para pedagang China menyembunyikan rempah-rempah di bawah timbunan sutera. Para pedagang Arab menyebarkan kabar bohong tentang penduduk yang suka memotong kepala.”






Di abad lima dan enam sendiri rempah-rempah sudah menjadi rebutan di tanah Eropa,  hingga Voltaire menulis “Setelah tahun 1500 tak ada lagi rempah tanpa pertumpahan darah”

Hingga akhirnya bangsa-bangsa Eropa (Portugis, Spayol, Inggris dan Belanda) melakukan ekspedisi, menelusuri jalur sutra  untuk mencari rempah-rempah. Dan sampailah mereka di Pulau Banda berebut. Jauh sebelum Bangsa Eropa datang ke Pulau Banda sudah ada ramalan mengenai legenda “Banda akan dikuasai orang-orang bermata kucing dan berambut jagung”. Sampailah pada dinamika persaingan antar negara Eropa yang berujung monopoli perdagangan buah pala di Pulau Banda, aksi kekerasan, dan genosida terhadap masyarakat asli Banda. Dari situ, sejenak terlihat pula gambaran praktik imperialisme negara-negara adidaya kala itu. Melalui Perjanjian Tordesilas inilah bangsa-bangsa Eropa membagi peta tanah jajahan, dengan semboyan yang terkenal dengan “gospel, gold, dan glory”

Perlakuan bangsa-bangsa Eropa yang ingin memonopoli hasil perkebunan pala, tidak di sukai oleh masyarakat Banda. Masyarakat Banda sendiri menganut sistem perdangan bebas, yang bebas di jual ke pedagang China dan Arab. Hingga terjadi perundingan antara masyarakat Banda dengan pihak VOC yang diwakili oleh Laksamana Verhoeven, perundingan ini berjalan buntu sehingga berakhir dengan terbunuhnya Laksamana Verhoeven dan empat puluh serdadu VOC yang diserang warga Banda Naira di sebuah hutan kecil di kawasan yang saat ini dikenal dengan kampong “verhopen”. Yang tersisa hanya JAN PIETERSZOON COEN, yang menjadi saksi terbenuhnya pasukan VOC hingga dia menyimpan dendam ke warga Banda.

Pada usia tiga puluh satu  tahun JAN PIETERSZOON COEN menjadi Gubernur Jendral VOC. Hingga Coen memindahkan pusat pemerintahan VOC ke Jayakarta, yang di beri nama oleh Coen sebagai kota “Batavieren” (Batavia). Tepat pada 27 Februari 1621 armada perang Coen tiba di Benteng Nassau, Banda Naira. Ia berhasil menghimpun pasukan militernya terdiri dari 13 kapal besar, 3 kapal kecil, 6 perahu layar, dengan pasukan tentara sebanyak 1.665 orang eropa, ditambah 250 tentara yang telah menetap di Banda, 100 orang tentara bayaran dari pasukan ronin-samurai, dan 286 tawanan asal Jawa sebagai buruh kapal.

Coen sendiri berniat membelas dendam ke warga Banda sekaligus menaklukan Pulau Banda. Pada serangan pertama Coen gagal total, namun pada serangan kedua pada 11 Maret 1621. Kali ini dia lebih strategis, menerjunkan tentaranya pada 6 titik sekaligus untuk mengelabui rakyat Banda. Dalam waktu singkat, pasukannya telah menduduki pos-pos penting di sebelah utara dekat Ortatang dan sebelah selatan dekat Lakoy. Coen sendiri melakukan penaklukan dengan kejahatan Genosida membunuh warga banda. Pengejaran terhadap penduduk Banda dilakukan secara sporadic dan kejam. Warga yang ditemukan dan melawan langsung dibunuh ditempat. Sebagian ditembak, ada juga yang dipukuli dengan senjata sampai hancur kepala. Begitu sadisnya, banyak orang memilih membuang dirinya di tebing-tebing tinggi daripada mati ditangan VOC. Sebagian yang berhasil ditangkap lalu dipaksa mengaku terlibat dalam konspirasi di atas kursi penyiksaan yang mampu membuat tulang-tulang kaki, tangan remuk patah dengan sekali putaran tuasnya. Sebagian penduduk lain dibuang ke Batavia dan dijadikan budak.  Pulau banda sendiri di isi oleh budak-budak dari pulau Jawa, Sumatera, Kalimantan, Maluku, dan NTT.  Sejak saat itu orang-orang Banda adalah hasil kawin campur dari berabagai macam suku Nusantara dan bahkan bangsa lain, sehingga di simpulkan dalam film ini hanya tersisa sedikit warga asli Banda.


JAN PIETERSZOON COEN menulis sejerahnya dengan darah orang-orang banda"