Aku memulai dengan menulis ini
ketika adzan Magrib, dengan sedikit ditemani musik. Aku mencoba rutin untuk
menulis sambil meluapkan emosiku. Entah apa yang ada di otakku sekarang,
sepertinya otakku sedang tidak aku dengan hatiku. Hatiku terus berdenyut kencang
dan otakku terus melawan dan membatasi suara-suara itu. Aku benar-benar tak
enang. Kata temanku Viena, coba untuk wudhu dan sholat sunnah, sudah ku coba
tapi gagal. Aku coba juga untuk rutin puasa senin-kamis supaya bisa tenang sampai aku beli air zam-zam di pusat
oleh-oleh haji, harapanku hanya untuk aku bisa tenang. Tapi rasanya sama tak
berubah sampai aku menulis ini aku masih merasakan perdebatan otak dan hatiku.
Ada apa dengan diriku? Kenapa Dia
begitu semenakutkan itu? Dia adalah perempuan yang mengambil separuh hati ini. Lantas
aku berfikir apa yang harus aku lakukan untuk melupakan Dia? Kata temanku satu
lagi, cara cepat lupa ya kenal lagi sama perempuan lan. Tapi bagiku itu itu
bukan jawaban yang aku butuhkan. Aku takut rasaku tak sama ketika berkenalan
dengan orang baru. Aku takut dihantui Dia, yang nanti bisa tiba-tiba muncul.
Dari bangun pagi aku terus
berfikir bagaimana ini? Seperti biasa jika aku tak mandi ketika kuliah pagiku,
yang aku lakukan gosok gigi, pakai conditioner sama sabun muka. Kamar mandi
adalah tempat merdeka selama dikamar mandi ku coba berfikir, ternya kandas
juga. Apa yang harus aku lakukan manusia ber ipk 2,8 yang sudah kuliah di
Bandung hampir lima tahunini, yang kosa kata basa sunda gak nambah-nambah ?
Cuma tau maneh, urang, sabaraha yang kosa kata sedehana lah.
Aku coba membaca buku-buku yang
ada di kamarku, bagiku buku adalah investasi yang bahagia. Kalian bisa baca
buku kapan saja murah dan sederhana. Aku lihat koleksi buku, berisi filsafat,
sejarah peradaban atau tentang buku-buku Islam. Rasanya aku malas baca buku
berat dengan kondisi hati yang sedang compang-camping ini. Aku coba jalan ke
toko buku di bilangan buah batu.
Sebelum ada mall terusan buah batu
sudah macet, panas, berdebu, dan jalan yang berlubang. Sudah hampir lima tahun
aku lewat jalan itu tak pernah berubah. Di tambah sekarang jalan buah batu
banyak sekali tempat nongkrong anak muda, restoran cepat saji ada dimana-mana. Membosankan
dengan macetnya buah batu. Aku putuskan tidak ke palasari ke toko buku
langgananku aku memilih di togamas saja.
Aku tak terlalu lama mencari buku
disitu cukup lima belas menit aku jatuh pada buku dari Puthut EA “Cinta Tak
pernah tepat Waktu” dan “Para Bajingan Yang menyenangkan”. Hari sabtu saat itu,
sebelum aku jemput dia aku sempatkan membeli buku ini. Aku memang sudah janji
dengan dia hari itu untuk membahas masalah yang terus berlarut-larut.
Selama aku tiga hari aku bisa
menyelesaikan buku “Cinta Tak pernah tepat Waktu”, aku tertarik pada halaman
202-203. Isi dari buku itu “ Saat aku menjenguk istri seorang teman, psikolog
dari Surabaya. Waktu itu aku bertanya : Mas bagaimana ceritanya kamu dapat
Mbakyu....” lalu temaku menjawab... “
Begini dik, dulu itu aku bercita-cita mempunya istri yang cantik, cerdas, kaya
dan kalau bisa dari anak bangsawan... Tapi, ketika aku berumur 27 tahun, sosok
yang kuidamkan belum juga kudapatkan. Lalu aku menurunkan kriterianya menjadi
cerdas, cantik, dan kaya. Tapi, seiring waktu, tetap saja kau belum
mendapatkannya. Lalu kuturunkan lagi menjadi cerdas dan cantik saja. Toh
kekayaan bisa dicari bersama-sama nanti. Eh, ternyata tidak dapat juga.
Akhirnya aku bingung. Padahal kriteriaku tinggal cerdas dan cantik saja Kalau kuturunkan
lagi, apa yang aku pilih ya? Kalau cantik tapi
tidak cerdas, wah... bagaimana aku ngajak ngomong dia? Kalau cerdas tapi
tidak cantik.. ya gimana juga? Nah, akhirnya aku dapat dia, ya istriku ini..” ‘Ya
Bu Ya’
Begitu
ujarnya sambil menengok ke arah istrinya, dan tersenyum menggoda.”Lihatlah
istriku ini bukan dari kelas bangsawan. Tidak begitu kaya. Tidak juga begitu
cantik. Juga tidak begitu cerdas. Tapi.. Tuhan memberi anugerah luar biasa
kepadanya. Ia seorang orang sangat bijaksana....”
Konon
kata salah satu keponakan yang menunggui saat kematian mendatangi sang istri,
ia menyimak percakapan terakhir ini. Percekapasn antara si suami dan si
istri...
“Mas
aku ingin mengatakan untuk terakhir kalinya bahwa aku sangat ingin menemani Mas
dan anak-anak di hidup ini... Tapi, Tuhan sepertinya menginginkan yang lain. Tidak
mengapakan? Toh aku tetap menemani Mas dan anak-anak... Hanya saja di dunia
yang berbeda. Itu saja..”
Lalu
sang suami menjawab...
“Dik
sudah lama kita bersama. Aku berterima kasih kamu telah bersamaku dan bersama
anak-anak. Kamu ibu yang sangat luar biasa, dan kamu juga istri yang sangat
luar biasa. Selama bersamamu, aku hanya punya satu kesimpulan besar : aku tidak punya alasan untuk tidak
mencintaimu samnpai kapanpun....”
Entah setelah membaca kisah itu,
aku merasa apa yang sudah aku lakukan selama ini? Aku Cuma masuk perputaran
yang sama. Kenalan – Suka – PDKT – Pacaran – Putus – pacaran lagi. Ah rasanya
kita akan terus masuk kelubang masuk lubang yang sama. Sampai di gedung A di
temani danus dan satu ekado aku berbicara dengan hatiku. “Jika aku nanti
berakhir dengan dia, aku tidak mau langsung pacaran. Biar aku sembuhkan dulu
luka-luka ini, hingga aku memang benar-benar siapa. Benar-benar siap untuk
tertawa berbahagia lagi dengan orang lain. Aku takut jika aku belum bisa
menyembuhkan luka ini, rasa yang dipaksakan itu gak enak malah akan terus
saling menyakiti. Aku harus siap dengan konsekuensi yang ada”
Buku di tangan kiri, kopi di
tangan kanan jodoh di tangan tuhan plus tangan mama. Sampai malam hari aku
menyelesaikan bku n aku tahu memang cinta selalu datang terlambat, jika tak
terlambat cinta selalu datang pada waktu yang tak pernah tepat, tak bisa kita
duga-duga. Cinta sepert kenangan yang akan selalu kamu ingat, tapi kalian aku
harus bisa melupakan cara hidup dengan dia. Jangan kata semua hal yang sama itu
selalu berjodoh, misalnya jenis kelamin?
Sudah aku akhiri saja bagian
pertama tulisan ni, mungkin minggu depan aku coba menulis yang lain.
aku
tidak punya alasan untuk tidak mencintaimu samnpai kapanpun...