Minggu pagi itu aku
bersiap, kukancingan kemejaku dengan rapih, sepatu pantofel, berlari sambil
melihat jam di tangan, memakai helm dan bersiap mengendarai motor, tak lupa aku
pasang lagu berjudul I Dont Care “Cause
I don't care when I'm with my baby, yeah”. Dalam perjalan, aku melihat
pengendara motor sedang bertengkar, mungkin yang bertengkar adalah sepasang
kekasih. Setelah melewati perempatan, aku berjalan dan melintasi pengendara
motor yang terjatuh. Terlintas akan sebuah tulisan “Lelakiku bukan sebuah
kesalahan, ia merawatku dengan penuh keberanian. Perempuanku bukan kemungkinan,
ia menjagaku dengan keyakinan. Lelakiku bukan pahlawan, ia berjuang demi
keserdahanaan. Perempuanku bukan rumah ia sebuah perjalanan tanpa ujung, kita
sepasang yang bukan-bukan” Ingatan akan tulisan tersebut terhenti, ketika ada
seorang pengamen kecil dan seorang anak kecil berjoget di perempatan, ada
beberapa anak menjual tisu, menjual vitacamin, aku merogoh celanaku, aku
membeli vitacimin, aku berikan uang lebih, bagiku beragama itu berbuat baik
tanpa merasa dirimu yang terbaik. Begitulah potret kemiskinan sudah dipandang
biasa saja, kemisikanan hanya dekat dengan angka statistik, tapi jauh dari rasa
kemanusian. Lampu hijau, tanda berjalan, di sepanjang jalan penuh spanduk poster
caleg, maupun partai politik, semrawut tanpa ada penataan, penuh janji yang
ditawarkan, apakah mereka jika terpilih di sumpah dengan kitab suci, masihkan
akan berbuat tercela, korupsi misalnya? Jika memang masih dilakukan Tuhan pun
rasanya ada hanya dibuat becandaan bagi mereka yang melanggar sumpah. Tiba-tiba
di pinggir jalan ada beberapa orang sedang berorasi dan berteriak, ada serikat
buruh sedang berdemo, aku mendapat relase demo tersebut, mereka dari sebuah
pabrik penghasil sepatu internasional, dan permalahannya adalah pabrik
distributor itu bangkrut, dan pengembangnya kabur, juga belum membayarkan THR
pekerjanya. Mereka menuntut haknya, nasib buruh kasar selalu rentan tanpa ada
perlindungan tapi berbeda dengan nasib pengembang selalu dipermudah, seharusnya
semua dapat perlindungan, pantas saja di Al-Quran ditulis “Tahukah kamu apakah
jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.”
(QS. Al Balaad ayat 12 - 13). Dengan skill selip menyelip melewati beberapa angkot
berjejer, mereka saling membunyikan klakson, entah sudah beberapa rindu yang
tumpah? Sampai di gedung aku tuju, aku sisir kembali rambut yang berantakan.
Aku tarik nafas dan melangkah, dalam gedung ini, aku melihat perempuan yang
anggun dengan senyum yang manis. Orang yang pernah mengisi gaduh-ramainya
perasaan, melewati jalan buah batu, Pelajar Pejuang, Karapitan, Dago, Riau,
Lembang, terimakasih atas tawanya, tangisannya, marahnya, punduhnya bahkan
pesan “Sudah baca buku hari ini?”. Senyum, menginat peristwa tersebut, memang
benar hal terpenting dari sebuah perjalanan bukanlah tujuan, melainkan teman
seperjalanan. Sebelum menyalaminya, karena tak ada kopi, aku ambil air putih
dan sedikit memejamkan mata “Segelas rindu pelarian dari sepi harus kumulai,
lagi sejak pagi. Dari senandung di kamar mandi hangga siul yang aku ciptakan
sambil membuat penuh gelas dengan kopi yang tertuang bersama harapan akan
menemukan sesuatu untuk mengisi ruang dan waktu luang supaya aku memiliki jeda,
meski singkat, sebelum tercebur, lagi, ke dalam ketergesaan hidup yang begitu
sehari-hari. Pintu yang akan kubuka nanti adalah ambang batas antara
kesepian di dalam diriku dan sebuah
dunia yang tak pernah sepi dari kabar dan berita yang sama sekali tak dapat
kita pastikan. Pagi itu, pagi ini, dan pagi lain yang datang dan berbicara
kepada diriku tanpa bahasa dari kehadiran tubuhmu adalah segelas penuh rindu
yang mesti kutandaskan sendiri, dan diriku, sebagaima denganmu, saat ini telah
tuntas menghabiskan segelas kopi hanya untuk kemudian menjadi gelas yang
berdiri bisu di sudut meja ini: sendiri dan kosong, sampai seseorang datang
mengisinya, lagi.” Sampai diatas aku salami satu persatu, dan aku mengucapkan “Selamat
atas pernikahanmu”. Hidup tak lebih seperti roler coster, naik dan turun, jika
takut cukup tutup mata dan teriaklah sekencang-kencangnya. Karena tugas manusia
adalah menjadi manusia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar