Selasa, 25 Juni 2019

Karena Hidup Hanya Untuk Datang Dan Pergi

Minggu pagi itu aku bersiap, kukancingan kemejaku dengan rapih, sepatu pantofel, berlari sambil melihat jam di tangan, memakai helm dan bersiap mengendarai motor, tak lupa aku pasang lagu berjudul I Dont Care “Cause I don't care when I'm with my baby, yeah”. Dalam perjalan, aku melihat pengendara motor sedang bertengkar, mungkin yang bertengkar adalah sepasang kekasih. Setelah melewati perempatan, aku berjalan dan melintasi pengendara motor yang terjatuh. Terlintas akan sebuah tulisan “Lelakiku bukan sebuah kesalahan, ia merawatku dengan penuh keberanian. Perempuanku bukan kemungkinan, ia menjagaku dengan keyakinan. Lelakiku bukan pahlawan, ia berjuang demi keserdahanaan. Perempuanku bukan rumah ia sebuah perjalanan tanpa ujung, kita sepasang yang bukan-bukan” Ingatan akan tulisan tersebut terhenti, ketika ada seorang pengamen kecil dan seorang anak kecil berjoget di perempatan, ada beberapa anak menjual tisu, menjual vitacamin, aku merogoh celanaku, aku membeli vitacimin, aku berikan uang lebih, bagiku beragama itu berbuat baik tanpa merasa dirimu yang terbaik. Begitulah potret kemiskinan sudah dipandang biasa saja, kemisikanan hanya dekat dengan angka statistik, tapi jauh dari rasa kemanusian. Lampu hijau, tanda berjalan, di sepanjang jalan penuh spanduk poster caleg, maupun partai politik, semrawut tanpa ada penataan, penuh janji yang ditawarkan, apakah mereka jika terpilih di sumpah dengan kitab suci, masihkan akan berbuat tercela, korupsi misalnya? Jika memang masih dilakukan Tuhan pun rasanya ada hanya dibuat becandaan bagi mereka yang melanggar sumpah. Tiba-tiba di pinggir jalan ada beberapa orang sedang berorasi dan berteriak, ada serikat buruh sedang berdemo, aku mendapat relase demo tersebut, mereka dari sebuah pabrik penghasil sepatu internasional, dan permalahannya adalah pabrik distributor itu bangkrut, dan pengembangnya kabur, juga belum membayarkan THR pekerjanya. Mereka menuntut haknya, nasib buruh kasar selalu rentan tanpa ada perlindungan tapi berbeda dengan nasib pengembang selalu dipermudah, seharusnya semua dapat perlindungan, pantas saja di Al-Quran ditulis “Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar itu? (yaitu) melepaskan budak dari perbudakan.” (QS. Al Balaad ayat 12 - 13). Dengan skill selip menyelip melewati beberapa angkot berjejer, mereka saling membunyikan klakson, entah sudah beberapa rindu yang tumpah? Sampai di gedung aku tuju, aku sisir kembali rambut yang berantakan. Aku tarik nafas dan melangkah, dalam gedung ini, aku melihat perempuan yang anggun dengan senyum yang manis. Orang yang pernah mengisi gaduh-ramainya perasaan, melewati jalan buah batu, Pelajar Pejuang, Karapitan, Dago, Riau, Lembang, terimakasih atas tawanya, tangisannya, marahnya, punduhnya bahkan pesan “Sudah baca buku hari ini?”. Senyum, menginat peristwa tersebut, memang benar hal terpenting dari sebuah perjalanan bukanlah tujuan, melainkan teman seperjalanan. Sebelum menyalaminya, karena tak ada kopi, aku ambil air putih dan sedikit memejamkan mata “Segelas rindu pelarian dari sepi harus kumulai, lagi sejak pagi. Dari senandung di kamar mandi hangga siul yang aku ciptakan sambil membuat penuh gelas dengan kopi yang tertuang bersama harapan akan menemukan sesuatu untuk mengisi ruang dan waktu luang supaya aku memiliki jeda, meski singkat, sebelum tercebur, lagi, ke dalam ketergesaan hidup yang begitu sehari-hari. Pintu yang akan kubuka nanti adalah ambang batas antara kesepian  di dalam diriku dan sebuah dunia yang tak pernah sepi dari kabar dan berita yang sama sekali tak dapat kita pastikan. Pagi itu, pagi ini, dan pagi lain yang datang dan berbicara kepada diriku tanpa bahasa dari kehadiran tubuhmu adalah segelas penuh rindu yang mesti kutandaskan sendiri, dan diriku, sebagaima denganmu, saat ini telah tuntas menghabiskan segelas kopi hanya untuk kemudian menjadi gelas yang berdiri bisu di sudut meja ini: sendiri dan kosong, sampai seseorang datang mengisinya, lagi.” Sampai diatas aku salami satu persatu, dan aku mengucapkan “Selamat atas pernikahanmu”. Hidup tak lebih seperti roler coster, naik dan turun, jika takut cukup tutup mata dan teriaklah sekencang-kencangnya. Karena tugas manusia adalah menjadi manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar