Senin, 17 Juli 2017

Zaman Djancok (1)----Koe

Djancok......


Aku sedang berada di zaman djancok, dimana orang-orangnya merebutkan siapa yang paling benar. Dan bagi yang salah, bakal di bikin malu-semalunya.

Zaman djancok juga, tidak melihat manusia sebagai manusia seutuhnya. Tapi yang dilihat, bagaimana tampilan manusia, bukankah tampilan itu bisa membutakanmu? Kadang aku berfikir, siapa sih orang yang pertama kali membuat konsep sopan dan rapi itu arus berkemeja, bercelana panjang, dan bersepatu. Indonesia sendiri adalah negara yang mengagungkan protokoler. Aku membayangkan suatu saat di negeri ini, tak usahlah terlalu protokoler banget, yang penting pake baju, celana, bebas mau menggunakan sepatu, sendal maupun nyeker. Keren, seandainya orang-orang bebas nyeker, menteri, presiden dan rakyatnya pun bisa bebas nyeker. Karena kaki itu memang harus bersentuhan langsung dengan tanah maupun kerikil. Untuk merangsang peredaran darah, tubuh, jasmani dan rohani. Nyeker adalah salah satu cara progresif bagi suku badui, aku mengagumi itu. Karena suatu saat kalau kita jalan-jalan muter-muter ke surga itu gak perlu pake sendal. Hanya penghuni neraka yang butuh sendal peredam panas api neraka.


Begitulah nilai etika bisa berubah-ubah. Zaman kerajaan dulu meskipun perempuan-perempuannya hanya mengguakan kemben, tapi perempuan tersebut dilarang memamerkan payudarannya. Sekarang justru dianjurkan oleh moral kebudayaan. Bahkan, semakin berani buka-bukaan semakin laris. Jadi ya jangan terlalu di mutlakkan protokoler kesopanan bagi seseorang tersebut, toh nilai moral-moral kebudayaan itu selalu berubah-ubah, yang kekal itu nilai agama. Kalau budaya berubah-ubah, ya santai saja menghadapi perubahan gak perlu menjadi orang yang mudah marah. Kalaupun kalian mudah marah, marahlah yang berestetika. Jika kamu marah dengan orang lain, berikan hadiah orang lain tersebut sendal, dan bilang “Ini hadiah sendal untukmu, supaya bisa menahan kaki-kakimu dalam panas nya api neraka”.

Djancok koe...... ( koe ungkapan jawa, berarti kamu)


Look up dan Look down, bercampur baur dengn zaman djancok. Maksudku ketika kita bertemu dengan seorang pejabat, secara tak sadar kita harus look down alis tunduk untuk memberikan hormat kepada pejabat tersebut. Padahal dalam tatanan demokrasi modern, rakyat berada dalam struktur tertinggi. Dan pejabat tak lebih sebagai palayan masyarakat. Jadi yang harus look down itu pejabat, malu karena pekerjaannya tidak bisa maksimal. Tapi kenyataanya, pejabat yang korupsi itu malah bangga tersenyum cerah dengan hasil nyolong duit negara, tidak punya rasa malu karena tidak amanah dalam jabatannya. Harusnya pejabat seperti harus malu dan look down kepada rakyat.
Untuk itu, masyarat di Indonesia itu harus diajari cara noleh kanan atau kiri. Artinya punya kesangupan untuk berposisi dan bersikap egaliter, sama dan sederajat dengan orang lain. Pergaulan masyarakat yang dalam prakteknya yang menganggap orang lain sebagai “bawahan” atau “atasan”. Bahkan, bisa “diperbudak” atau “memperbudak”, “diperas” atau “memeras”


Masyarakt Idonesia cukup tinggi bakatnya “sakit leher”. Cuma bisa look up dan look down. Karena pada zaman djancok ini, diperanakan oleh suatu tatanan kemasyarakatan yang hierarkis-feodal. Proses modernisasi bangsa Indonesia tidak cukup jauh menolong penyembuhan “sakit leher”. Apalagi tak kalah untuk kepentingan mobilisasi politik masyarakat modern, kita “direfeodalisasikan” oleh yang punya kuasa atas negara ini.


Bakat tinggi, untuk sakit leher, berbanding terbalik dengan pertumbuhan demokraisasi tata sosial. Jika seseorang camat merupakan “Raja Kecil” kepada staf dan penduduk mesti membungkuk-bungkuk sedemikian rupa di hadapannya, serta ia tetap juga berposisi  camat ketika dia makan direstoran, ketika mancing ikan atau ketika main sepakbola. Maka kacaulah cita-cita demokrasi. Bola tak akan kita rebut dari kaki pak camat, ikan-ikan di kolam kita tatar agar berduyun-duyun mengerumuni umpan pak camat, padahal ketika mancing atau bermain bola ia tidak berfungsi sebagai camat.


Jadi, jabatan merupakan salah satu proses look up and lookdown Padahal aslinya rakyat itu posisinya tertinggi dibanding kedaulatan pemerintah. “Pemerintah itu ‘pmbantu rumah tangga negaranya’ rakyat”. Jadi sudah terbalik dalam proses lookup dan look down di zaman djancok.


Djancok koe...


Pos yang lain dari “keharusan” Look up dan look down misalnya adalah satuan-satuan status sosial yang lain, seperti gelar, pemilikan kekayaan, atau mungkin juga ras.
Orang yang punya gelar (akademis, atau kebangsawanan) selalu dianggap “di atas rata-rata” Dengan demikian “manusia rata-rata”bersikap look up kepadanya. Tak peduli apakah ia punya fungsi atau reputasi yang sesuai dengan gelarnya atau tidak.


“Janganlah engkau berjalan di depanku sebab aku bukan pengikutmu, Jangan pula berjalan di belakangku sebab engkau bukan pengikutku. Marilah berjalan di sisiku kita melangkah sejajar bersama”

Zaman Djancok in prometheus




*)beberapa tulisan saya ambil dari karya Imam Besar Cak Nun (Emha Ainun Najib)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar