Djancok......
Aku sedang berada di
zaman djancok, dimana orang-orangnya merebutkan siapa yang paling benar. Dan
bagi yang salah, bakal di bikin malu-semalunya.
Zaman djancok juga,
tidak melihat manusia sebagai manusia seutuhnya. Tapi yang dilihat, bagaimana tampilan
manusia, bukankah tampilan itu bisa membutakanmu? Kadang aku berfikir, siapa
sih orang yang pertama kali membuat konsep sopan dan rapi itu arus berkemeja,
bercelana panjang, dan bersepatu. Indonesia sendiri adalah negara yang
mengagungkan protokoler. Aku membayangkan suatu saat di negeri ini, tak usahlah
terlalu protokoler banget, yang penting pake baju, celana, bebas mau
menggunakan sepatu, sendal maupun nyeker. Keren, seandainya orang-orang bebas
nyeker, menteri, presiden dan rakyatnya pun bisa bebas nyeker. Karena kaki itu
memang harus bersentuhan langsung dengan tanah maupun kerikil. Untuk merangsang
peredaran darah, tubuh, jasmani dan rohani. Nyeker adalah salah satu cara
progresif bagi suku badui, aku mengagumi itu. Karena suatu saat kalau kita
jalan-jalan muter-muter ke surga itu gak perlu pake sendal. Hanya penghuni neraka
yang butuh sendal peredam panas api neraka.
Begitulah nilai etika
bisa berubah-ubah. Zaman kerajaan dulu meskipun perempuan-perempuannya hanya
mengguakan kemben, tapi perempuan tersebut dilarang memamerkan payudarannya. Sekarang
justru dianjurkan oleh moral kebudayaan. Bahkan, semakin berani buka-bukaan
semakin laris. Jadi ya jangan terlalu di mutlakkan protokoler kesopanan bagi
seseorang tersebut, toh nilai moral-moral kebudayaan itu selalu berubah-ubah,
yang kekal itu nilai agama. Kalau budaya berubah-ubah, ya santai saja
menghadapi perubahan gak perlu menjadi orang yang mudah marah. Kalaupun kalian
mudah marah, marahlah yang berestetika. Jika kamu marah dengan orang lain,
berikan hadiah orang lain tersebut sendal, dan bilang “Ini hadiah sendal
untukmu, supaya bisa menahan kaki-kakimu dalam panas nya api neraka”.
Djancok koe...... ( koe
ungkapan jawa, berarti kamu)
Look up dan Look down,
bercampur baur dengn zaman djancok. Maksudku ketika kita bertemu dengan seorang
pejabat, secara tak sadar kita harus look down alis tunduk untuk memberikan
hormat kepada pejabat tersebut. Padahal dalam tatanan demokrasi modern, rakyat
berada dalam struktur tertinggi. Dan pejabat tak lebih sebagai palayan
masyarakat. Jadi yang harus look down itu pejabat, malu karena pekerjaannya
tidak bisa maksimal. Tapi kenyataanya, pejabat yang korupsi itu malah bangga
tersenyum cerah dengan hasil nyolong duit negara, tidak punya rasa malu karena
tidak amanah dalam jabatannya. Harusnya pejabat seperti harus malu dan look
down kepada rakyat.
Untuk itu, masyarat di
Indonesia itu harus diajari cara noleh kanan atau kiri. Artinya punya
kesangupan untuk berposisi dan bersikap egaliter, sama dan sederajat dengan
orang lain. Pergaulan masyarakat yang dalam prakteknya yang menganggap orang
lain sebagai “bawahan” atau “atasan”. Bahkan, bisa “diperbudak” atau “memperbudak”,
“diperas” atau “memeras”
Masyarakt Idonesia
cukup tinggi bakatnya “sakit leher”. Cuma bisa look up dan look down. Karena
pada zaman djancok ini, diperanakan oleh suatu tatanan kemasyarakatan yang
hierarkis-feodal. Proses modernisasi bangsa Indonesia tidak cukup jauh menolong
penyembuhan “sakit leher”. Apalagi tak kalah untuk kepentingan mobilisasi
politik masyarakat modern, kita “direfeodalisasikan” oleh yang punya kuasa atas
negara ini.
Bakat tinggi, untuk
sakit leher, berbanding terbalik dengan pertumbuhan demokraisasi tata sosial.
Jika seseorang camat merupakan “Raja Kecil” kepada staf dan penduduk mesti
membungkuk-bungkuk sedemikian rupa di hadapannya, serta ia tetap juga
berposisi camat ketika dia makan direstoran,
ketika mancing ikan atau ketika main sepakbola. Maka kacaulah cita-cita
demokrasi. Bola tak akan kita rebut dari kaki pak camat, ikan-ikan di kolam
kita tatar agar berduyun-duyun mengerumuni umpan pak camat, padahal ketika mancing
atau bermain bola ia tidak berfungsi sebagai camat.
Jadi, jabatan merupakan
salah satu proses look up and lookdown Padahal aslinya rakyat itu posisinya
tertinggi dibanding kedaulatan pemerintah. “Pemerintah itu ‘pmbantu rumah tangga
negaranya’ rakyat”. Jadi sudah terbalik dalam proses lookup dan look down di
zaman djancok.
Djancok koe...
Pos yang lain dari “keharusan”
Look up dan look down misalnya adalah satuan-satuan status sosial yang lain,
seperti gelar, pemilikan kekayaan, atau mungkin juga ras.
Orang yang punya gelar
(akademis, atau kebangsawanan) selalu dianggap “di atas rata-rata” Dengan
demikian “manusia rata-rata”bersikap look up kepadanya. Tak peduli apakah ia
punya fungsi atau reputasi yang sesuai dengan gelarnya atau tidak.
“Janganlah engkau
berjalan di depanku sebab aku bukan pengikutmu, Jangan pula berjalan di
belakangku sebab engkau bukan pengikutku. Marilah berjalan di sisiku kita
melangkah sejajar bersama”
Zaman Djancok in prometheus
*)beberapa tulisan saya
ambil dari karya Imam Besar Cak Nun (Emha Ainun Najib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar